Revisi UU Kejaksaan Jadi Perbincangan Publik, Ketua Laskar Anti Korupsi Indonesia (LAKI) Angkat Bicara

Revisi UU

Konawe Selatan –  Ketua ( LAKI ) Laskar Anti Korupsi Indonesia, MUHCTAR EFFENDI ,  angkat bicara soal Revisi Undang-Undang Kejaksaan (Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2021). Salah satu poin yang memicu polemik adalah pengaturan asas dominus litis, yang memberikan kewenangan kepada kejaksaan untuk mengintervensi proses penyelidikan dan penyidikan yang dilakukan oleh pihak  kepolisian.

Dominus litis merupakan bahasa Latin, yang bermakna  “dominus” berarti pemilik dan “litis” berarti perkara.  Dominus litis dapat diartikan sebagai pemilik atau pengendali perkara. Dalam konteks revisi UU Kejaksaan tersebut, memberikan wewenang jaksa yang lebih besar dalam supervisi dan pengendalian perkara pidana, termasuk didalamnya terkait tentang tahap penyelidikan dan penyidikan yang dilakukan oleh Kepolisian.

Ketua Laskar Anti Korupsi Indonesia, MUHCTAR EFFENDI menilai bahwa penambahan pemberian kewenangan kepada kejaksaan tersebut berpotensi menimbulkan penyalahgunaan kewenangan serta tumpang tindih dengan kewenangan kepolisian dan kehakiman. Ia mengungkapkan bahwa ada tiga persoalan utama yang muncul akibat penerapan asas dominus litis dalam revisi UU Kejaksaan.

Pertama, pengaturan asas dominus litis yang memberikan kewenangan kejaksaan untuk mengintervensi atau melakukan supervisi dalam proses penyelidikan dan penyidikan dapat menciptakan tumpang tindih kewenangan dalam sistem peradilan pidana di Indonesia, dimana sistem peradilan pidana di Indonesia melibatkan empat sub-sistem utama, yang meliputi :

1. Kepolisian sebagai lembaga yang berwenang melakukan penyidikan.
2. Kejaksaan sebagai lembaga penuntutan.
3. Pengadilan sebagai pihak yang mengadili dan menjatuhkan putusan.
4. Lembaga eksekusi yang melaksanakan putusan yang telah berkekuatan hukum tetap.

Dalam sistem ini, masing-masing lembaga memiliki kewenangan tersendiri yang tidak dapat saling tumpang tindih. Walaupun dalam kasus tertentu, seperti tindak pidana korupsi, kejaksaan diberikan kewenangan untuk melakukan penyidikan, tetapi secara umum, penyidikan adalah tugas dan kewenangan kepolisian.

Kedua, penerapan asas dominus litis dalam revisi UU Kejaksaan dianggap bertentangan dengan asas diferensiasi fungsional dalam hukum acara pidana. Asas ini menegaskan bahwa setiap aparat penegak hukum memiliki tugas dan fungsi yang terpisah antara satu dengan yang lain. Dalam paradigma Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) yang diatur dalam UU No. 8 Tahun 1981, kewenangan polisi, jaksa, dan hakim sudah ditetapkan secara tegas. Jika kejaksaan diberikan wewenang untuk mengintervensi penyelidikan dan penyidikan, hal ini berpotensi mengurangi kewenangan kepolisian sebagai penyidik utama dalam sistem peradilan pidana.

Ketiga, meskipun dalam penegakan hukum tugas instansi / lembaga penegak hukum berbeda – beda dan mempunyai tujuan sendiri tetapi pada hakikatnya dalam sistem penegakan hukum pidana bisa bekerja sama.

itu bisa terjadi jika didukung adanya singkronisasi dari segi subtansi produk hukum / undang – undang pada masing- masing lembaga hukum, sehingga dapat memungkinkan subtansi bekerja secara koheren, kordinatif dan integratif. “ Kata  MUHCTAR EFFENDI

Atas perbedaan pandangan terhadap Revisi Undang Undang Kejakasaan tersebut, penting bagi para pemangku kebijakan untuk mempertimbangkan kembali penerapan asas dominus litis. Keselarasan sistem peradilan pidana dan pembagian kewenangan yang jelas antar-lembaga penegak hukum harus tetap dijaga demi terciptanya alur sistem hukum yang adil dan efektif di Indonesia.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *